Minggu, 18 November 2012

Kumpulan Cerpen


SELAMAT PAGI TEMAN
oleh: Nur Ida Zuhayanti


       Namanya Baruna.  Kulitnya sedikit gelap, berambut ikal dan punya tahi lalat di dagunya. Ia anak yang sehat dan lucu, sebenarnya, hal ini dapat dilihat dari penampilannya. Ciri yang lain  ia  memiliki mata agak  sipit dengan kuping caplang. Seperti anak seusianya, lelaki kecil yang seharusnya duduk di kelas A tapi masih tetap tinggal di Playgrup ini senang bermain juga. Yang membedakan barangkali ia lebih ekspresif, bahkan terkesan hiperaktif, frontal dan seenaknya.  Seringkali ia selalu membuat ulah dengan mengusili teman-temannya. Suatu hari Puan, anak perempuanku pernah juga menjadi sasaran keisengannya. Katanya tadi pagi ia menangis gara-gara sepatunya disembunyikan Baruna. Di sekolah ini memang sepatu harus dilepas saat anak memasuki kelas. Diletakkan di kotak sepatu yang berderet di depan kelas yang sengaja dibuat terbuka dan ada nama-namanya. 

 

       “Waktu turun main tadi masih ada,”begitu kata gadis kecilku  itu saat ditanya Bu Lucy, guru kelasnya. Namun ketika sekolah usai, ia tak menemukan sepatu warna pink kesayangannya itu di tempatnya. Dicari kemana-mana tidak ketemu, rupanya disembunyikan di dalam toilet guru oleh Baruna.  Pak Iwan, penjaga sekolah memang sempat curiga setelah turun main tadi bertemu lelaki kecil itu keluar sendirian dari toilet guru dengan terburu-buru. Dan besoknya, saat ditanya, ia hanya tertawa sambil menjawab: lupa !. Itulah Baruna. 

  

       Seperti ketika ia mengerjai Bu Sri, guru kelasnya dengan membawa ulat bulu yang disimpan bersama kotak makanan di dalam tasnya. Pada waktunya makan bersama, anak  itu kemudian menunjukkan bawaannya kepada Bu Sri, lalu melemparkan  ke meja temannya sehingga  suasana  menjadi gaduh. Beberapa anak menjerit,  bahkan ada yang sampai menangis ketakutan. Melihat semua kejadian yang dibuatnya ini Baruna  hanya tertawa. Terlihat senang dan tidak ada penyesalan sama sekali. Saat disuruh meminta maaf dia tidak mau. Ya. Baruna memang belum bisa diberitahu, atau lebih tepatnya agak sulit diberitahu, apalagi dinasehati.  Kubilang belum karena ia memang masih anak-anak,  belum lagi genap lima tahun  usianya, belum tahu bila perbuatannya itu mengganggu atau membahayakan orang lain. Barangkali saja.

     

        Juga disaat anak-anak lain sedang asyik mendengarkan cerita ibu guru, tiba-tiba saja ia mengacungkan sebilah pisau lipat, yang tak tahu didapat dari mana, seraya berakting sambil berteriak histeris: “Bunuh aku! Ambil saja aku..!” . Kontan Miss Denna yang  berada di dekatnya saat itu segera merampas pisau di tangannya, lalu mendekap Baruna erat-arat. Entah kenapa, lelaki kecil itu tidak berontak seperti biasanya, tapi seolah membalas memeluk Miss Denna, seraya menyandarkan pasrah kepala kecilnya. 

    

        “Baruna kenapa ? “ Tanya Miss Denna lembut, berbisik dekat sekali di telinganya. Anak itu menggeleng. “Kita main di depan, yuk,” ajak guru muda yang masih menjadi asisten dan mengajar Bahasa Inggris itu. Baruna hanya menurut, mengikuti saja Miss Denna yang membawanya ke halaman untuk bermain-main. Mencoba menikmati prosotan, ayunan, kemudian hanya duduk-duduk saja sambil melempar pandangannya lepas ke jalan. Matanya yang sipit itu seolah menyusuri setiap bagian halaman, tak terkecuali ke arah bangku kayu di sudut  taman dan area dekat parkir di luar pagar. Beginilah  yang  seringkali dilakukan Baruna. Hampir setiap pulang sekolah, yang seminggu tiga kali bagi kelas Playgrup itu ia  selalu mau bermain-main sendirian terlebih dahulu sampai siang. Kadang-kadang bahkan seharian ia hanya bermain saja di halaman, tidak mau masuk kelas sama sekali. Bi Rani, pengasuhnya, seperti  sudah faham betul  dengan karakter dan kebiasaan majikan kecilnya ini. Ia begitu sabar dan tetap setia menunggu sampai sekolah sepi, sampai Baruna mau pulang.

    

       Tadinya aku memang sedikit heran, apakah setiap kejadian yang dilakukan Baruna di sekolah itu tidak pernah diberitahukan orang tuanya.  Setidaknya oleh Bi Rani, perempuan setengah baya yang selalu  mengantar dan menunggui Baruna. Rupanya pihak sekolah juga merasa peka dengan masalah ini. Melalui Bi Rani, Bu Sri, guru wali kelas di Playgrup  itu menitipkan surat undangan untuk orang tua atau wali Baruna.

    

       Namun besok paginya, baik mami maupun papi Baruna tak nampak datang ke sekolah anaknya. Besok dan besoknya lagi juga begitu, hingga lebih dari seminggu setelah dititipkannya undangan itu. Dan Baruna juga  tak terlihat lagi datang ke sekolah bersama pengasuhnya. Terus terang hal ini membuat ibu-ibu menjadi sedikit lega, setidaknya karena mereka tidak lagi khawatir anaknya akan menjadi korban keisengan “si pembuat onar”, begitu sebutan diam-diam untuk Baruna. Mama Daffa bahkan bersyukur, karena anaknya yang sama-sama di Playgrup merupakan “musuh bebuyutan” Baruna. Keduanya tak pernah bisa akur  alias selalu ribut bila bertemu. Masalah kecil seperti rebutan mainan atau  giliran menyanyi di depan  bisa menjadi pemicu pertengkaran yang membuat Daffa menangis dan ngambek minta pulang.

    

         “Sekali-sekali saya ingin ketemu orang tua Baruna, bukan hanya pengasuhnya,” kata Mama Daffa suatu ketika. Maksudnya tentu ingin kenal agar bisa berdiskusi secara baik mengenai anaknya.  Sebab selama ini, tak pernah terlihat  orang tua Baruna mengantar, menjemput atau mendampingi anaknya. Begitupun bila ada kegiatan ke luar sekolah seperti berenang,  jalan-jalan atau acara lomba.

   

         Sampai pada Rabu pagi, jadwalnya semua anak melakukan kegiatan olah raga, Bi Rani terlihat datang sendiri diantar sopir tanpa Baruna, ataupun orang tuanya. Kedatangan pengasuh yang sudah setia mengabdi sejak Baruna belum lahir itu  diminta oleh sang Opa, kakek Baruna yang  selama ini tinggal bersama  lelaki kecil bermata sipit dengan kuping caplang itu. Sejak usia dua tahun  pemilik rambut ikal dengan tahi lalat di dagu itu  memang  diambil oleh  Opa  karena mami dan papinya sudah tidak peduli lagi kepadanya.

     

       “Mana Baruna, Bi ?” tanya Bu Sri lagi. Perempuan itu kemudian menjelaskan bila Baruna sementara ini  tinggal di rumah  tantenya  di Surabaya untuk melakukan terapi psikis karena sejak kecil  hampir setiap hari  menyaksikan pertengkaran hebat kedua orang tuanya. Ah, kasihan Baruna. Anak sekecil itu ternyata telah menyimpan begitu banyak kisah dalam hidupnya.

  

      Ya, menurut Bi Rani, orang tua Baruna kini sudah berpisah, alias bercerai. Sebelumnya mereka berdua tak pernah menginginkan  kelahiran  Baruna, anak semata wayang yang hadir sebelum keduanya resmi menikah. Ah, aku tak tahu harus berkata apa saat mendapatkan cerita itu. Memang masing-masing orang memiliki alasan sendiri untuk hidupnya, untuk keluarga dan rumah tangganya. Tapi Baruna, anak itu, dan anak-anak lain bila ditanya tentu tidak mau menjadi  korban keputusan perceraian kedua orang tuanya, orang yang seharusnya memberikan kasih dan cinta, orang yang telah menimbun benih dan melahirkannya ke dunia, meski dengan kesalahan apapun. Sebab pasti, ia tidak mengerti apa-apa.

     

       Namun demikian, dalam hati kecil aku berharap agar Baruna bisa  segera dapat menghapus memori panjang yang penuh  kenangan pahit  masa kecil dulu, dan kembali bermain serta bercengkrama riang seperti yang lainnya. Menikmati matahari cerah untuk masa depannya. Selamat Pagi, Teman***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar