SELAMAT
PAGI TEMAN
Namanya
Baruna. Kulitnya sedikit gelap, berambut
ikal dan punya tahi lalat di dagunya. Ia anak yang sehat dan lucu, sebenarnya, hal
ini dapat dilihat dari penampilannya. Ciri yang lain ia
memiliki mata agak sipit dengan
kuping caplang. Seperti anak seusianya, lelaki kecil yang seharusnya duduk di
kelas A tapi masih tetap tinggal di Playgrup ini senang bermain juga. Yang membedakan
barangkali ia lebih ekspresif, bahkan terkesan hiperaktif, frontal dan
seenaknya. Seringkali ia selalu membuat
ulah dengan mengusili teman-temannya. Suatu hari Puan, anak perempuanku pernah
juga menjadi sasaran keisengannya. Katanya tadi pagi ia menangis gara-gara
sepatunya disembunyikan Baruna. Di sekolah ini memang sepatu harus dilepas saat
anak memasuki kelas. Diletakkan di kotak sepatu yang berderet di depan kelas
yang sengaja dibuat terbuka dan ada nama-namanya.
“Waktu
turun main tadi masih ada,”begitu kata gadis kecilku itu saat ditanya Bu Lucy, guru kelasnya.
Namun ketika sekolah usai, ia tak menemukan sepatu warna pink kesayangannya itu
di tempatnya. Dicari kemana-mana tidak ketemu, rupanya disembunyikan di dalam
toilet guru oleh Baruna. Pak Iwan,
penjaga sekolah memang sempat curiga setelah turun main tadi bertemu lelaki
kecil itu keluar sendirian dari toilet guru dengan terburu-buru. Dan besoknya,
saat ditanya, ia hanya tertawa sambil menjawab: lupa !. Itulah Baruna.
Seperti
ketika ia mengerjai Bu Sri, guru kelasnya dengan membawa ulat bulu yang
disimpan bersama kotak makanan di dalam tasnya. Pada waktunya makan bersama,
anak itu kemudian menunjukkan bawaannya
kepada Bu Sri, lalu melemparkan ke meja
temannya sehingga suasana menjadi gaduh. Beberapa anak menjerit, bahkan ada yang sampai menangis ketakutan.
Melihat semua kejadian yang dibuatnya ini Baruna hanya tertawa. Terlihat senang dan tidak ada
penyesalan sama sekali. Saat disuruh meminta maaf dia tidak mau. Ya. Baruna
memang belum bisa diberitahu, atau lebih tepatnya agak sulit diberitahu,
apalagi dinasehati. Kubilang belum
karena ia memang masih anak-anak, belum
lagi genap lima tahun usianya, belum
tahu bila perbuatannya itu mengganggu atau membahayakan orang lain. Barangkali
saja.
Juga
disaat anak-anak lain sedang asyik mendengarkan cerita ibu guru, tiba-tiba saja
ia mengacungkan sebilah pisau lipat, yang tak tahu didapat dari mana, seraya
berakting sambil berteriak histeris: “Bunuh aku! Ambil saja aku..!” . Kontan
Miss Denna yang berada di dekatnya saat
itu segera merampas pisau di tangannya, lalu mendekap Baruna erat-arat. Entah
kenapa, lelaki kecil itu tidak berontak seperti biasanya, tapi seolah membalas
memeluk Miss Denna, seraya menyandarkan pasrah kepala kecilnya.
“Baruna
kenapa ? “ Tanya Miss Denna lembut, berbisik dekat sekali di telinganya. Anak
itu menggeleng. “Kita main di depan, yuk,” ajak guru muda yang masih menjadi
asisten dan mengajar Bahasa Inggris itu. Baruna hanya menurut, mengikuti saja
Miss Denna yang membawanya ke halaman untuk bermain-main. Mencoba menikmati
prosotan, ayunan, kemudian hanya duduk-duduk saja sambil melempar pandangannya
lepas ke jalan. Matanya yang sipit itu seolah menyusuri setiap bagian halaman,
tak terkecuali ke arah bangku kayu di sudut taman dan area dekat parkir di luar pagar. Beginilah
yang seringkali dilakukan Baruna. Hampir setiap
pulang sekolah, yang seminggu tiga kali bagi kelas Playgrup itu ia selalu mau bermain-main sendirian terlebih dahulu
sampai siang. Kadang-kadang bahkan seharian ia hanya bermain saja di halaman, tidak
mau masuk kelas sama sekali. Bi Rani, pengasuhnya, seperti sudah faham betul dengan karakter dan kebiasaan majikan kecilnya
ini. Ia begitu sabar dan tetap setia menunggu sampai sekolah sepi, sampai
Baruna mau pulang.
Tadinya aku memang sedikit heran, apakah
setiap kejadian yang dilakukan Baruna di sekolah itu tidak pernah diberitahukan
orang tuanya. Setidaknya oleh Bi Rani,
perempuan setengah baya yang selalu mengantar dan menunggui Baruna. Rupanya pihak
sekolah juga merasa peka dengan masalah ini. Melalui Bi Rani, Bu Sri, guru wali
kelas di Playgrup itu menitipkan surat
undangan untuk orang tua atau wali Baruna.
Namun
besok paginya, baik mami maupun papi Baruna tak nampak datang ke sekolah
anaknya. Besok dan besoknya lagi juga
begitu, hingga lebih dari seminggu setelah dititipkannya undangan itu. Dan
Baruna juga tak terlihat lagi datang ke
sekolah bersama pengasuhnya. Terus terang hal ini membuat ibu-ibu menjadi
sedikit lega, setidaknya karena mereka tidak lagi khawatir anaknya akan menjadi
korban keisengan “si pembuat onar”, begitu sebutan diam-diam untuk Baruna. Mama
Daffa bahkan bersyukur, karena anaknya yang sama-sama di Playgrup merupakan
“musuh bebuyutan” Baruna. Keduanya tak pernah bisa akur alias selalu ribut bila bertemu. Masalah
kecil seperti rebutan mainan atau
giliran menyanyi di depan bisa
menjadi pemicu pertengkaran yang membuat Daffa menangis dan ngambek minta
pulang.
“Sekali-sekali
saya ingin ketemu orang tua Baruna, bukan hanya pengasuhnya,” kata Mama Daffa
suatu ketika. Maksudnya tentu ingin kenal agar bisa berdiskusi secara baik
mengenai anaknya. Sebab selama ini, tak
pernah terlihat orang tua Baruna
mengantar, menjemput atau mendampingi anaknya. Begitupun bila ada kegiatan ke
luar sekolah seperti berenang, jalan-jalan
atau acara lomba.
Sampai
pada Rabu pagi, jadwalnya semua anak melakukan kegiatan olah raga, Bi Rani terlihat
datang sendiri diantar sopir tanpa Baruna, ataupun orang tuanya. Kedatangan pengasuh
yang sudah setia mengabdi sejak Baruna belum lahir itu diminta oleh sang Opa, kakek Baruna yang selama ini tinggal bersama lelaki kecil bermata sipit dengan kuping
caplang itu. Sejak usia dua tahun pemilik rambut ikal dengan tahi lalat di dagu
itu memang diambil oleh
Opa karena mami dan papinya sudah
tidak peduli lagi kepadanya.
“Mana
Baruna, Bi ?” tanya Bu Sri lagi. Perempuan itu kemudian menjelaskan bila Baruna
sementara ini tinggal di rumah tantenya
di Surabaya untuk melakukan terapi psikis karena sejak kecil hampir setiap hari menyaksikan pertengkaran hebat kedua orang
tuanya. Ah, kasihan Baruna. Anak sekecil itu ternyata telah menyimpan begitu
banyak kisah dalam hidupnya.
Ya,
menurut Bi Rani, orang tua Baruna kini sudah berpisah, alias bercerai.
Sebelumnya mereka berdua tak pernah menginginkan kelahiran Baruna, anak semata wayang yang hadir sebelum
keduanya resmi menikah. Ah, aku tak tahu harus berkata apa saat mendapatkan
cerita itu. Memang masing-masing orang memiliki alasan sendiri untuk hidupnya, untuk
keluarga dan rumah tangganya. Tapi Baruna, anak itu, dan anak-anak lain bila
ditanya tentu tidak mau menjadi korban keputusan
perceraian kedua orang tuanya, orang yang seharusnya memberikan kasih dan
cinta, orang yang telah menimbun benih dan melahirkannya ke dunia, meski dengan
kesalahan apapun. Sebab pasti, ia tidak mengerti apa-apa.
Namun
demikian, dalam hati kecil aku berharap agar Baruna bisa segera dapat menghapus memori panjang yang
penuh kenangan pahit masa kecil dulu, dan kembali bermain serta
bercengkrama riang seperti yang lainnya. Menikmati matahari cerah untuk masa
depannya. Selamat Pagi, Teman***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar